Jarimah Ta’zir

 Makalah : – /PAI

Disusun Oleh : Sarmin Lawendatu / – / STAIN Manado / 2013

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta’zir. Jarimah Ta’zir merupakan jarimah yang paling ringan diantara jarimah lainnya, dan sifat dari jarimah ta’zir itu sendiri hanya memberi jera kepada si pelaku kejahatan namun pemberian jera tersebut tidak mencapai kepada hukuman mati. Jarimah ta’zir ini tidak ada ketentuan nya dari Al-Qur’an dah Hadits Nabi sehingga ada sebagian para yang menjadikan hal ini sebagai definisi dari jarimah ta’zir.

 B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang di maksud dengan Jarimah Ta’zir ?

2. elaskan Unsur-unsur Dan pembagian Jarimah Ta’zir ?

 BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertan Jarimah Ta’zir

Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir,pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran.dan menurut istilah,sebagaimana yang dikemukakan oleh Iman Al Mawardi,pengertiannya sebagai berikut: Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’”.

          Secara ringkas dapat di katakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’melainkan diserahkan kepada hakim, baik penentuan maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut, hakim hanya menetapkan secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir,melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman,dari yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya.[1]

Dengan demikian ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:

  1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas,artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
  2. Penetapan hukuman tersebut adalah hak hakim.

Bisa dikatakan pula, bahwa ta’zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir (selain had dan qishash diyat). Pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan benruk bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

 B. Landasan Jarimah Tazir

 Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan burba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS al-Hujarat:12).[2]

Hadis Nabi .

 Artinya:

Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim).

  1. Unsur-Unsur Jarimah Ta’zir

     Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pengertian jarimah terpulang pada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara dan pelakunya dapat diancam dengan hukuman. Larangan tersebut adakalanya larangan untuk berbuat dan adakalanya larangan untuk tidak berbuat. Yang dimaksud dengan larangan berbuat adalah larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang jelas-jelas dilarang oleh syara, seperti berzina, mencuri, dan sebagainya. Adapun larangan tidak berbuat adalah seseorang tidak melaksanakan sesuatu yang menurut ketentuan harus dia lakukan atau dengan ungkapan lain, dia meninggalkan suatu perbuatan yang menurut ketentuan harus dilakukan, misalnya seseorang yang tidak mau menolong orang lain yang sangat memerlukan pertolongan, padahal dia sanggup melakukannya.

 Ketentuan untuk tidak melakukan atau untuk meninggalkan perbuatan yang termasuk dalam kategori jarimah harus mempunyai sandaran yang jelas dan berasal dari ketentuan-ketentuan nash syara. Oleh karena itu, berbuat atau tidak berbuat dianggap sebagai jarimah apabila terhadap perilaku tersebut tersedia ancaman hukuman.

Begitu pula, nash Al Qur’an, Sunnah Nabi, atau peraturan-peraturan lainnya, harus hadir lebih awal dibandingkan dengan perintah berbuat atau tidak berbuat tadi. Tidak boleh sebaliknya. Artinya perbuatan atau tidak berbuat hadir lebih dahulu, sedangkan ketentuan yang berkaitan dengan itu dibuat kemudian.[3]

Setiap peraturan (perintah atau larangan) sebelum diberlakukan, terlebih dahulu harus disebarluaskan agar diketahui oleh umum atau disosialisasikan terlebih dahulu. Seperti halnya undang-undang atau peraturan pemerintah, walaupun dibuat tidak secara langsung diterapkan atau diberlakukan, tetapi disosialisasikan lebih dahulu sampai jangka waktu tertentu, misalnya UU No. 1/1974 diberlakukan mulai 1 April 1975-Undang-undang Lalu Lintas 1992, diberlakukan 17 September 1993. Setelah peraturan itu hadir dan berlaku, perbuatan yang dianggap atau dikategorikan sebagai jarimah dapat dinilai sebagai perbuatan yang melawan hukum atau tidak.

Larangan-larangan tersebut berasal dari ketentuan syara’ sehingga hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat karena memahami maksud ketentuan tersebut dan sanggup menerimanya. Hal ini karena pada hakekatnya, perintah atau larangan merupakan suatu beban sehingga si penerima beban harus memahami dan menyanggupinya. Paham artinya mengerti isi kewajiban (perintah atau larangan), sedangkan sanggup artinya dapat mengerjakan atau meninggalkan perbuatan tersebut.

Orang yang dapat memahami dan sanggup menerima beban menurut ilmu fiqih dinamai mukallaf, (orang yang dibebani). Oleh karena itu, mereka berkena khitbah (panggilan) untuk menerimanya.

Sebagai contoh, seseorang yang mengambil barang yang diduga bukan miliknya telah menyebabkan hilangnya milik seseorang dan menyebabkan kerugian. Namun kita belum dapat menyebutnya sebagai jarimah pencurian sebelum mencari undang-undang, peraturan, dan sebagainya tentang kasus tersebut. Bila ditemui adanya aturan pelarangan untuk memindahkan, memiliki barang orang lain tanpa prosedur yang sah (membeli atau meminjam atau mendapat bagian) dan ketentuan tersebut telah lama ada sebelum perbuatan pemindahan barang tersebut dilakukan, dan oran gyang melakukannya dianggap telah mengetahui peraturan tersebut, kita belum dapat menghukumi si pelaku bahwa dia telah melakukan suatu jarimah dan dapat dihukum. Kita tidak dapat hanya mengandalkan adanya kehadiran asas legalitas saja dan belum cukup untuk menilai perbuatan itu sebagai suatu jarimah.[4]

Dalam hal ini Abdul kair Audah berkata, “Bahwasanya syari’at tidak membebani, kecuali terhadap orang-orang yang mampu memahami dalil (paham isi perintah dan dianggap mengetahui aturan) serta dapat menerima atau memikul beban, tidak pula syari’at membebani seseorang, kecuali bila diasumsikan beban itu dapat dipikulnya dan orang tersebut dianggap mengetahui dan dapat menaatinya.

Hal senada dikemukakan Al Qhazali bahwa perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan oleh orang-orang yang berakal yang dianggap memahami khithab dari nash, aturan dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak selayaknya menghadapkan khithab kepada benda mati atau binatang bahkan tidak sah menrapkannya kepada orang gila dan anak-anak.

           Tentang sejauh mana seorang mukallaf mengetahui hukum atau aturan, Abdul Wahab hallaf memberikan penjelasan, “Yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf terhadap hukum, tidak diartikan sebagai hafal aturan teksbook, hafal ayat, nash Al Qur’an atau Hadits, pasal-pasal dalam KUHP Pidana, dan lain-lain. Akan tetapi , cukup berdasarkan asumsi bahwa yang bersangkutan dianggap mengetahui karena dia termasuk seorang yang mukallaf.

 1. Unsur Formal atau Rukun Syar’i

Yang dimaksud dengan unsur formal atau rukun syar’I adalah adanya ketentuan syara atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dpaat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud. Dketentuan tersebut harus dating (sudah ada) sebelum perbuatan dilakukan dan bukan sebaliknya.

 2. Unsur Material atau Rukun Maddi[5]

Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Kalau kita kembalikan kepada kasus di atas bahwa pencurian adalah tindakan pelaku memindahkan atau mengambil barang milik orang lain, tindakan pelaku tersebut adalah unsur material yaitu, perilaku yang membentuk jarimah.

 3. Unsur Moril atau Rukun Adaby

Unsur ini juga disebut dengan al-mas’uliyyah al jiniyyah atau pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat tindak pidana atau delik haruslah orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu, pembuat jarimah (tindak pidana,k delik) haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut.

Unsur-unsur yang telah kami sebutkan tadi adalah unsur-unsur yang bersifat umum. Artinya unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah (tindak pidana atau delik). Jadi, pada jarimah apapun ketiga unsur itu harus terpenuhi. Di samping itu, terdapat unsur kasus yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jarimah yang lain. Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak akan ditemukan pada jarimah yang lain. Sebagai contoh, memindahkan (mengambil) harta benda oaring lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan nyawa orang lain dalam kasus pemunuhan

C.  Pembagian Jarimah Ta’zir

a. Dilihat dari Pelaksanaannya

Aspek yang ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah bagaimana si pelaku melaksanakan jarimah tersebut. Apakah jarimah  itu dilaksanakan dengan melakukan perbuatan yang terlarang ataukah si pelaku tidak melaksanakan perbuatan yang diperintahkan. Kalau si pelaku mengerjakan perbuatan yang terlarang, ia telah melakukan jarimah secara ijabiyyah, artinya aktif dalam melakukan jarimah tadi, atau dalam bahasa hukum positif dinamai delict commisionis. Si pelaku jarimah jenis ini telah melakukan perbuatan maksiat, mengerjakan perbuatan yang dilarang melaksanakannya, seperti mencuri, berzina, mabuk-mabukan, membunuh, dan sebagainya. Bentuk kebalikannya adalah si pelaku jarimah salabiyah, artinya pelaku pasir, tidak berbuat sesuatu atau dalam hukum positif dinamai delict ommisionis, seperti tidak melakukan sholat, tidak membayar zakat, tidak menolong orang lain yang sangat membutuhkan padahal dia sanggup melaksanakannya. Sebagian ulama dalam kaitannya dengan aspek ini, memunculkan bentuk campuran ijabiyyah (aktif) dengan salabiyyah (pasir), seperti dicontohkan dalam kasus seperti ini, seorang bermaksud membunuh tawanan, namun tidak dilakukan dengan cara membunuhnya, melainkan dengan menahan yang bersangkutan di satu tempat tanpa memberinya makan dan minum sampai si tertawan itu mati. Maka si pewanan tadi didakwa telah membunuh dengan tidak berbuat sesuatu, yaitu tidak memberi makan dan minum.[6]

 b.   Dilihat dari Niatnya

Pembagian jarimah dari sudut pandang ini, terbagi ke dalam dua bagian. Petama adalah jarimah-jarimah yang disengaja  atau jaraim al-makshudah, yang diniati bahkan direncanakan. Contohnya adalah seorang masuk ke rumah orang lain dengan maksud untuk mencuri sesuatu dari rumah tersebut. Bentuk kebalikan dari jarimah ini adalah jarimah tidak disengaja atau jaraim ghoir makshudah. Bentuk jarimah ini dapat terjadi karena pertama, yaitu karena kekeliruan. Perbuatan karena kekliruan ini, sengaja dilakukannya, namun hasil yang didapat tidak dikehendaki oleh pelakunya. Seperti seorang melempar batu untuk mengusir binatang, tiba-tiba batu tersebut mengenai orang lain. Celaknya orang lain tersebu adalah karena kekeliruan, bukan kesengajaan, dia hanya sengaja melempar batu untuk mengusir binatang, tetapi keliru hasilnya. Contoh lainnya adalah orang menakut-nakuti dengan senjata, tetapi senjata tersebut mengenai orang yang ditakut takuti tadi, dan sebagainya. Kedua, karena kelalaian, yaitu suatu perbuatan yang sama sekali tidak disengaja, baik perbuatan itu sendiri maupun hasil dari perbuatannya. Contohnya adalah seseorang membakar sampah dengan maksud membersihkan sekeliling rumahnya. Tanpa sepengetahuannya, api membesar dan membakar sesuatu milik orang lain. Contoh lainnya adalah seseorang yang telah melakukan suatu pekerjaan dia tidak menyimpan alat-alat kerjanya, seperti golok. Karena kelupaan dan kelelahannya, golok itu dibiarkannya tergeletak di luar dan kemudian menjadi penyebab kecelakaan bagi orang yang lalu lalang.[7]

 c.  Dilihat dari Objeknya

 Aspek yang juga dapat membedakan bentuk jarimah adalah aspek korban. Dalam hal ini  dapat dibedakan apakah hasil dari jarimah tersebut mengenai perseorangan atau kelompok masyarakat. Jika yang menjadi korban itu perseorangan disebut jarimah perseorangan dan jika yang menjadi korban itu masyarakat disebut jarimah masyarakat. Sebagian ulama mengatakan, bila korban tersebut perseorangan,  jarimah tersebut menjadi hak adami (hak perseorangan), namun bila korbannya masyarakat, jarimah tersebut menjadi hak jama;ah (hak Allah).

 d. Dilihat dari Motifnya

Dalam keseharian, kita sering mendengar kata-kata tindak pidana yang dikaitkan dengan masalah kenegaraan, pemerintahan, atau sesuatu yang sifatnya politis. Jarimah politik adalah jarimah yang dilakukan dengan maksud politis dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tujuan politik dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tujuan politik untuk melawan pemerintahan yang sah pada waktu situasi yang tidak normal, seperti pemberontakan bersenjata, mengacaukan perekonomian dengan maksud-maksud politis, dan sebagainya. Sedangkan jarimah-jarimah yang tidak bermuatan politik dinamai jarimah biasa, seperti mencuri ayam atau barang-barang lainya atau membunuh atau menganiaya orang-orang kebanyakan (orang biasa).

 e. Dilihat dari Bobot Hukuman

Para ulama membagi masalah jinayah menjadi tiga bagian. Pembagian ini didasarkan terhadap bobot hkuman yang dikenakan terhadap pelaku jarimah, sedangkan hukuman itu sendiri didasarkan atas ada tidaknya dalam nas Al-Qur’an atau As-Sunnah. Namun, ada pula sebagian ulama yang membaginya menjadi dua bagian karena memasukkan masalah qishash/diyat dalam kelompok hudud, di antaranya Al-Mawardy, yang mendefinisikan jarimah sebagai berikut.

Namun pada umumnya para ulama membagi jenis jarimah dalam tiga bagian, berikut ini.

  1. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah suatu jarimah yang bentuknya telah dientukan syara sehingga terbatas jumlahnya. Selain ditentukan bentuknya (jumlahnya), juga ditentukan hukumannya secara jelas, baik melalui Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Lebih dari itu, jarimah ini termasuk dalam jarimah yang menjadi hak Tuhan. Jarimah-jarimah yang menjadi hak Tuhan, pada prinsipnya adlah jarimah yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk memelihara kepentingan, ketentramana, dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu, hak Tuhan identik dengan hak jamaah atau hak masyarakat, maka pada jarimah ini tidak dikenal pemaafan atas perbuat jarimah, baik oleh perseorangan yang menjadi korban jarimah (mujnaa alaih) maupun oleh Negara.[8]

Hukuman jarimah ini sangat jelas diperuntukkan bagi setiap jarimah. Karena hanya ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah, tidak ada pilihan hukuman bagi jarimah ini dan tentu saja tidak mempunyai batas tertinggi maupun terendah seperti layaknya hukuman yang lain.

Dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelaku yang telah nyata-nyata berbuat jarimah yang masuk ke dalam kelompok hudud tentu dengan segala macam pembuktian, hakim tinggal melaksanakannya apa yang telah ditentukan syara. Jadi, fungsi hakim terbatas pada penjatuhan hukuman yang telah ditentukan, tidak berijtihad dalam memilih hukuman.

Karena beratnya sanksi yang  akan diterima si terhukum kalau dia memang bersalah melakukan jarimah ini, maka penetapan asas legalitas bagi pelaku jarimah ini harus ekstrahati-hati, ketat dalam penerapannya serta tidak ada keraguan sedikitpun bagi hakim dalam penrapannya. Mengapa harus demikian? Karena sanksi jarimah hudud menyangkut hilangnya nyawa atau hilangnya anggota badan si pembuat jarimah. Dengan demikian, kesalahan vonis, kesalahan dalam menentukan jarimah akan menimbulkan dampak yang buruk.

 2. Jarimah Qishash/Diyat

Seperti halnya jarimah hudud, jarimah qishash diyat pun telah ditentukan jenisnya maupun besar hukumannya. Jadi, jarimah ini pun terbatas jumlahnya dan hukumannya pun tidak mengenal batas tertinggi maupun terndah karena hukuman untuk jarimah ini hanya satu untuk setiap jarimah.Satu-satunya perbedaan jarimah qishash/diyat dengan jarimah hudud adalah jarimah qishash/diyat menjadi hak perseorangan atau hak adami yang membuka kesempatan pemaafan bagi si pembuat jarimah oleh orang yang menjadi korban, wali, atau ahli warisnya. Jadi, dalam kasus jarimah qhishash/diyat ini, korban atau ahli warisnya dapat memaafkan perbautan si pembuat jarimah, meniadakan qishash, dan menggantinya dengan diyat atau meniadakan diyat sama sekali.[9]

Hak perseorangan yang dimaksud seperti telah disinggung hanya diberikan kepada korban, dalam hal si korban masih hidup, dan kepada wali atau ahli warisnya kalau korban meninggal dunia. Oleh karena itu, seorang kepala negara dalam kedudukannya sebagai penguasapun tidak berkuasa memberikan pengampunan bagi pembuat jarimah.

Qishash ditujukan agar pembuat jarimah (tindak pidana) dijatuhi hukuman yang setimpal, sebagai balasan atas perbuatannya itu. Jadi, hukuman bunuh hanya dijatuhkan bagi pembunuh dan pelukaan dijatuhi bagi orang yang melukai. Menurut arti katanya, qishash adalah akibat yang sama yang dikenakan kepada orang yang dengan sengaja menghilangkan jiwa atau melukai atau menghilangkan anggota badan orang lain.

        3. Jarimah Ta’zir

Ta’zir menurut arti katanya adalah at ta’dib artinya member pengajaran. Dalam fiqih    jinayah, ta’zir merupakan suatu bentuk jarimah, yang bentuk atau macam jarimah serta hukuman (sanksi) jarimah ini ditentukan penguasa. Jadi, jarimah ini sangat berbeda degan jarimah hudud dan qishash/diyat yang macam jarimah dan abentuk hukumnya telah ditentukan oleh syara. Tidak ditentukan macam dan hukuman pada jarimah ta’zir sebab jarimah ini berkaitan dengan perkembangan masyarakat serta kemaslahatannya. Seperti kita mafhum, kemaslahatan selalu berubah berkembang dari satu waktu ke lain waktu dan dari satu tempat ke tempat lain.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Secara bahasajarimahmengandung pengertian dosa, durhaka. Larangan-larangan syara’ (hukum Islam) yang diancam hukuman had (khusus) atau takzir pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum syariat yang mengakibatkan pelanggarnya mendapat ancaman hukuman.

Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari ‘azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta’zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi pelaku kejahatan untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera.

1.Unsur-Unsur Jarimah Ta’zir

a Unsur Formal atau Rukun Syar’i

b. Unsur Material atau Rukun Maddi

c. Unsur Moril atau Rukun Adaby

2. Pembagan Jarimah Ta’zir

a. Jarimah hudud

b. Jarimah qisash diyat

c. Jarimah ta’zir


DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, H.A, Fiqh Jinayat Menanggulangi Kejahatan dalam Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.2000.

Abdul Qadir Audah, Al Tasyri’ al Jina’iy al Islami, Beirut: Muasasah al Risalah,1992

Ahmad Hanafi , Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1996

A.Jazuli Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar

Grafika. 2004

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta. Sinar

Grafika. 2004


[1]Djazuli, H.A, Fiqh Jinayat Menanggulangi Kejahatan dalam Islam.( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2000) h.89.

[2]Abdul Qadir Audah, Al Tasyri’ al Jina’iy al Islami,( Beirut: Muasasah al Risalah,1992),

h. 65.

[3]Ahmad Hanafi , Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), h. 1

[4]A. Jazuli, Fiqih Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2000), h. 177

[5]Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta. Sinar Grafika. 2004), h.158

[6]Sudarsono , Pokok-pokok Hukum Islam, ( Jakarta : PT .Rineka Cipta 1992 ), h.527

[7]Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Intermasa, 1986), h.

838

[8]Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta. Sinar

Grafika. 2004), h. 158

[9]Saleh Al-Fauzan, Fiqih sehari-hari,(cet.1,Jakarta:Gema Insani press,2005)h.288.

 

Tinggalkan komentar